Senin, 18 November 2013

khotbah jumatan di somalangu

    Dulu zaman saya kecil banyak anak anak remaja hampir hapal bunyi khotbah Jum’at di Somalangu. Yaitu yang banyak kata kata  harom, karena khotbah selalu diawali dengan kata kata  “Alhamdu lillah aladzi amarana aklal halali wanahal harom ". Seingat saya sejak zaman khotibnya  dan pemangku Imam masjidnya adalah Wa Kaum Ahmad Siraj tahun 50an, zaman Imam Masjidnya Bapak saya ( KH Mu’thi Abd Khayyi bin KH Abd Kafi Tsani, tahun 1954 s/d th 1966, kemudian zamannya  KH Thaifur , maupun zamannya Gus Afif sekarang, khotbah Jum’at yang dibaca ya itu itu saja, hanya sesekali saja ganti . Yang saya ingat sekitar tahun 60 an KH Thoifur pernah khotbah lain ketika dirumahnya ada rombongan anak anak PII se wilayah Yogyakarta Besar, Kedu dan Banyumas yang mengikuti mental training disana. Waktu itu atas permintaan Pak Glondong, Bapak tetap bertindak sebagai Imam , dan khotibnya KH Thoifur. Zaman sekarang , ketika saya tidak lagi tinggal di Somalangu, kalau sesekali saya sholat Jum’at di Somalangu ternyata khotbahnya juga masih yang itu. Saya pribadipun punya teks khotbah itu, dan pernah juga saya bacakan di masjid lain.dengan saya tambahi serta saya terjemahkan secara bebas.
   
   Dulu diyakini, bahwa walaupun lain desa, tetapi antara desa Somalangu dan Candimulya  dukuh Ndesa dan Pejaten, adalah satu balad, sehingga tidak boleh ada dua Jum’at (ta’addudul jum’ah ) .Pernah Kyai di Candimulya ingin mendirikan sholat Jumah sendiri, dan pengulu Kebumen menyarankan agar minta persetujuan dulu ke Somalangu, maka KH Abdurahman yg tidak enak melarangnya karena ada hubungan semenda, hanya mengatakan bahwa kalau di Candimulya ada Jum’atan, maka saya akan ikut Jum’atan disana, dan biar di Somalangu tidak usah ada Jum’atan.. Akhirnya di Candimulya gagal mengadakan sholat Jum’at sendiri , mungkin karena segan dan karena mereka tahu betul apa maksud dari jawaban tersebut. Hal ini terjadi beberapa kali.
    Zaman berganti, di Somalangu KH Abdurahman telah wafat, penggantinya adalah anak sulungnya yg bernama KH Mahfudz Abdurrahman. Di Candimulya, kiyainya juga sudah berganti . Timbul pemikiran serupa , dan Pengulu Kebumen tetapi mengajukan saran serupa pula. Para umala di Somalangu kemudian musyawarah untuk menanggapi permintaan persetujuan tersebut. KH  Mahfudz tadinya akan mengikuti jejak ayahandanya, dengan menutup Jum’at di Somalangu. Tepikir oleh beliau nantinya akan sholat Jum’at ke Pesucen saja, sementara KH Thoifur akan sholat Jum’at di Penasutan. ( Atau sebaliknya, KH Toifur ke Pesucen, KH Mahfudz yang ke Penasutan., saya kurang ingat dengan pasti) .
    Setelah mencoba mentelaah beberapa kitab rujukan, lalu Bapak berpendapat, bahwa kalau terjadi ta’adudul juma’h ( juma’h ganda) maka yang sah adalah Sholat Jum’at yang lebih dulu takbiratul ikhram. Oleh karena itu bagaimana kalau di Somalangu tetap mengadakan sholat jum’at , tetapi takburatul ikhramnya harus lebih dulu dari jum’atan di Candimulyo?. Strateginya, yaitu  :

1. Proses Jum’atan di mulai se awal mungkin, yang penting sholat qabliyah Jum’at dilakukan sudah dalam dalam waktu dzuhur, dan jangan sampai terjebak kepada waktu karohah.
2. Khotbah diusahakan se singkat mungkin
3. Adzan kedua maupun iqomah  dilaksanakan juga super kilat,

Terhadap pendapat ini KH Zamahsyari menyambut, dengan kesediaannya bertindak sebagai khotib, dan karena tadinya KH Mahfudz  beketetapan akan sholat Jum’at di Penasutan, maka biar Pak cilik Mu’thi yang jadi imam ( KH Zamahsyari biasa memanggil Bapak begitu ,sementara KH Mahfudz maupun KH Thoifur memang keponakan bapak, jadi biasa memanggilnya pak cilik  Mu’thi, sedang  masyarakat pada umumnya memanggil bapak dengan mbah Ragil, sejak Bapak masih setengah baya).

Mimbar masjid Somalangu 

    Ketegangan pun cair, biarlah Candimulya berdiri Sholat Jum’at sendiri, Somalangu juga tetap mendirikan shoat Jum’at, dan para ulama Somalangu tetap sholat Jum’at di Somalangu.  Segera di cari khotbah Jum’at yg pendek tetapi cukup berkwalitas, dan dijadikan khotbah permanent. Sampai tahun enampuluhan masih banyak orang tua  dari Candimulya yang tetap Jumatan di Masjid Somalangu .
     Itu semua adalah hasil ijtihad beliau pada waktu itu, tentu sekarang zamannya sudah lain , Kalau Candimulya dan Somalangu  tetap harus hanya ada satu jum’ah sudah sangat sulit terlaksana, terutama warganya yang semakin banyak, dan dalam keadaan biasa, Jamaah Jum’at dimasjid Somalangu selalu mbludag sampai kehalaman yg cukup luas,padahal bukan saja di Candimulya yang menyelenggarakan sholat Jumah, Grumbul Tlimbengpun sudah menyelenggarakan sendiri. Di dua masjid itu pun jamaahnya selalu penuh.. Saya kira saat ini khotbah Jum’at di masjid Somalangu  yang masih menggunakan teks khotbah lama ,bukan lagi dengan mempertimbangkan untuk “kejar2an takbiratul ikhram”, tetapi semata mata tabarukan pada karya para sepuh. Sedang bimbingan rohani secara umum tidak lagi dilaksanakan di lakukan didalam khotbah Jum’at, tetapi di berbagai majlis ta’lim dan pengajian yg cukup banyak.

1 komentar: