Dulu diyakini, bahwa walaupun lain desa,
tetapi antara desa Somalangu dan Candimulya dukuh Ndesa dan Pejaten,
adalah satu balad, sehingga tidak boleh ada dua Jum’at (ta’addudul
jum’ah ) .Pernah Kyai di Candimulya ingin mendirikan sholat Jumah
sendiri, dan pengulu Kebumen menyarankan agar minta persetujuan dulu ke
Somalangu, maka KH Abdurahman yg tidak enak melarangnya karena ada
hubungan semenda, hanya mengatakan bahwa kalau di Candimulya ada
Jum’atan, maka saya akan ikut Jum’atan disana, dan biar di Somalangu
tidak usah ada Jum’atan.. Akhirnya di Candimulya gagal mengadakan sholat
Jum’at sendiri , mungkin karena segan dan karena mereka tahu betul apa
maksud dari jawaban tersebut. Hal ini terjadi beberapa kali.
Zaman berganti, di Somalangu KH
Abdurahman telah wafat, penggantinya adalah anak sulungnya yg bernama KH
Mahfudz Abdurrahman. Di Candimulya, kiyainya juga sudah berganti .
Timbul pemikiran serupa , dan Pengulu Kebumen tetapi mengajukan saran
serupa pula. Para umala di Somalangu kemudian musyawarah untuk
menanggapi permintaan persetujuan tersebut. KH Mahfudz tadinya akan
mengikuti jejak ayahandanya, dengan menutup Jum’at di Somalangu. Tepikir
oleh beliau nantinya akan sholat Jum’at ke Pesucen saja, sementara KH
Thoifur akan sholat Jum’at di Penasutan. ( Atau sebaliknya, KH Toifur ke
Pesucen, KH Mahfudz yang ke Penasutan., saya kurang ingat dengan pasti)
.
Setelah mencoba mentelaah beberapa kitab
rujukan, lalu Bapak berpendapat, bahwa kalau terjadi ta’adudul juma’h (
juma’h ganda) maka yang sah adalah Sholat Jum’at yang lebih dulu
takbiratul ikhram. Oleh karena itu bagaimana kalau di Somalangu tetap
mengadakan sholat jum’at , tetapi takburatul ikhramnya harus lebih dulu
dari jum’atan di Candimulyo?. Strateginya, yaitu :
1. Proses Jum’atan di mulai se awal mungkin, yang penting sholat qabliyah Jum’at dilakukan sudah dalam dalam waktu dzuhur, dan jangan sampai terjebak kepada waktu karohah.
2. Khotbah diusahakan se singkat mungkin
3. Adzan kedua maupun iqomah dilaksanakan juga super kilat,
Terhadap pendapat ini KH Zamahsyari
menyambut, dengan kesediaannya bertindak sebagai khotib, dan karena
tadinya KH Mahfudz beketetapan akan sholat Jum’at di Penasutan, maka
biar Pak cilik Mu’thi yang jadi imam ( KH Zamahsyari biasa memanggil
Bapak begitu ,sementara KH Mahfudz maupun KH Thoifur memang keponakan
bapak, jadi biasa memanggilnya pak cilik Mu’thi, sedang masyarakat
pada umumnya memanggil bapak dengan mbah Ragil, sejak Bapak masih
setengah baya).
Ketegangan
pun cair, biarlah Candimulya berdiri Sholat Jum’at sendiri, Somalangu
juga tetap mendirikan shoat Jum’at, dan para ulama Somalangu tetap
sholat Jum’at di Somalangu. Segera di cari khotbah Jum’at yg pendek
tetapi cukup berkwalitas, dan dijadikan khotbah permanent. Sampai tahun
enampuluhan masih banyak orang tua dari Candimulya yang tetap Jumatan
di Masjid Somalangu .
Itu semua adalah hasil ijtihad beliau
pada waktu itu, tentu sekarang zamannya sudah lain , Kalau Candimulya
dan Somalangu tetap harus hanya ada satu jum’ah sudah sangat sulit
terlaksana, terutama warganya yang semakin banyak, dan dalam keadaan
biasa, Jamaah Jum’at dimasjid Somalangu selalu mbludag sampai kehalaman
yg cukup luas,padahal bukan saja di Candimulya yang menyelenggarakan
sholat Jumah, Grumbul Tlimbengpun sudah menyelenggarakan sendiri. Di dua
masjid itu pun jamaahnya selalu penuh.. Saya kira saat ini khotbah
Jum’at di masjid Somalangu yang masih menggunakan teks khotbah lama
,bukan lagi dengan mempertimbangkan untuk “kejar2an takbiratul ikhram”,
tetapi semata mata tabarukan pada karya para sepuh. Sedang bimbingan
rohani secara umum tidak lagi dilaksanakan di lakukan didalam khotbah
Jum’at, tetapi di berbagai majlis ta’lim dan pengajian yg cukup banyak.
Sip
BalasHapus